“Violet, mau nglayap kemana lagi kamu?” suara Ibuku mengagetkan aku. “Baru pulang sudah mau pergi lagi.”
Aku berhenti, meletakkan sepatu yang aku jinjing dan berbalik ke arah Ibuku. Selalu saja begitu. Menegurku dengan kata-kata yang kasar. “Mau ke rumah Dewi Bu. Ada PR. Ini kalau Ibu tidak percaya.” Jawabku sambil mengeluarkan buku-buku dari dalam tasku. Aku harus mengeluarkan buku-bukuku dan menunjukkan kepada Ibu agar Ibu percaya kepadaku.
“Jangan bohong sama Ibu. Mau belajar apa klayaban kamu?” tanya Ibuku lagi, masih dengan nada yang tinggi.
“Saya tidak bohong sama Ibu. Nih, Ibu tanya sendiri sama Dewi, apakah saya benar-benar ke rumah Dewi atau tidak!” jawabku sambil menyerahkan Hpku pada Ibu. Ibu diam, tidak menyahut, dan tidak membiarkan tanganku yang mengulurkan HP kepadanya.
“Inget! Jam 11 malam harus sudah sampai di rumah.” Kata Ibuku kemudian, sembari berbalik masuk ke kamarnya. Aku masih berada di tempatku semula sampai Ibu kembali berbalik, “kalau kelewat jam 11 malam kamu belum sampai rumah, jangan harap Ibu mau bukakan pintu untukmu.”
Aku beringsut melangkahkan kakiku keluar, menuju mobil Dewi yang terparkir di seberang rumahku. Aku masih kesal dengan perlakuan Ibu kepadaku. Bukan kali ini saja Ibu berbuat seperti itu kepadaku. Mungkin sudah puluhan bahkan ratusan kali aku mendengar larangan-larangan Ibu, dan tidak jarang menggunakan kata-kata pedas, yang kadang membuat aku ingin berontak.
“Kenapa Lo, kusut gitu.?” tanya Dewi begitu aku menghembaskan ke jok di sebelah Dewi.
“Biasa, Nyokap Gue. Tiap Gue mau pergi, pasti selalu nyenyenyenyenyenye...!” jawabku sambil memonyongkan bibir, mempraktikkan gaya Ibu setiap kali memarahiku.
“Hahahaha.. Lo mirip banget ya Vi sama nyokap Lo.”
“Kurang ajar Lo. Jangan samain Gue sama Nyokap Gue ya. Beda jauh tau gak. Guemodern, Nyokp kolot. Gue gaul, lha Nyokap, tau apa dia dengan mode, gaya, dugem dan kesenangan lainnya. Yang ada, bagi Nyokap, semua itu harus dihindari. Nururtin dia, bisa-bisa Gue jadi cewek cupu!” sahutku bersungut-sungut.
“Iya, iya sorry. Lo emang jauh banget kok dari Nyokap Lo. Ya udah, sekarang kita kemana? Jadi ke GT?” kata Dewi menetralisir emosiku. GT adalah tempat dugem yang paling terkenal di kotaku. Hampir tiap alkhir pekan aku bersama teman-temanku termasuk Dewi menghabiskan malam di sana.
“Ya jadilah. Gila aja kalau gak jadi. Udah bela-belain ribut ma Nyokap juga.”
“Oke deh Violet sayang, tancaaaap.” Dewi segera membelokkan mobilnya menuju GT.
Lima belas menit kemudian, kami tiba di GT. Suasana sudah lumayan ramai. Maklum, malam Minggu, banyak yang ingin melewatkan malam Minggu bersama pacar dan teman-temannya di sana. Aku dan Dewi segera bergabung dengan teman-temanku yang sudah dari tadi sampai di GT. Hingar bingar musik dan gemerlapnya lampu disco membuat suasana semakin meriah. Kamipun semakin larut dalam suasana, hingga waktu berjalan tanpa terasa.
“Wi, pulang yuk. Udah jam sebelas lewat nih.” Ajakku kepada Dewi yang terlihat asyik menikmati dentuman music.
“Bentaran dikit dong Vi, nanggung. Cowok-cowok baru pada datang nih. Siapa tahu bisa dapat gebetan di sini.” Jawab Dewi sambil menggoyang-goyangkan badannya, mengikuti alunan Imma Be-nya Black Eyed Peas yang menghentak.
“tapi udah kelewat jam 11 nih, bisa-bisa Gue gak dibukain pintu sama Nyokap.” Kataku sambil menyeret Dewi ke arah pintu.
“Ah, ngapain pusing. Kalau ga dapat pintu, ntar tidur tempat Gue. Jangan susah gitu dong.” Dewi kembali bergabung dengan teman-temanku lainnya. Aku mengejarnya ketika ku lihat ada 4 panggilan telepon tak terjawab dari nomor rumahku.
“Wi, nyokap udah nelponin nih. Buruan yuk.” Aku kembali menarik Dewi menjauhi keramaian.
“Hello, Vio. Ini malam Minggu. Ngapain sih malam minggu buru-buru pulang.? Mau Lodikatain cewek kuper, cupu? Udah, matiin HP Lo dan tunggu bentar lagi. Yuk gabung dengan yang lainnya, tuh tuh tuh, cowoknya ganteng –ganteng banget.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku matikan HP dan segera bergabung dengan teman-temanku yang asyik mengobrol dengan beberapa orang cowok kenalan mereka. Kuhitung ada lima orang cowok yang bergabung dengan kami. Masing-masing dari mereka sibuk menarik perhatian dari kami yang kebetulan juga berlima dengan lelucon-lelucon mereka. Hanya aku yang sedikit diam. Aku teringat rumah. Aku takut dimarahi Ibuku lagi. Terlebih, malam ini Ayahku juga pulang dari luar kota. Biasanya ayahku bekerja di luar kota dan hanya sebulan sekali pulang ke rumah. Mungkin karena itulah Ibu menjadi keras kepadaku. Karena tidak ada Ayah, sehingga seluruh tanggung jawab di rumah, termasuk menjaga aku, menjadi tanggung jawab Ibuku.
“Violet, kenapa diam saja dari tadi?” sapa Bintang, salah satu dari lima cowok tersebut.
“Lagi ada sedikit masalah ni.” Jawabku sekadarnya.
“Masalah apa sih? Cerita aja, siapa tahu Gue bisa membantu. Paling tidak, bisa membuat Lo lega, karena Lo bisa mengeluarkan uneg-uneg Lo.” Sahut Bintang. Kalimat Bintang yang bersahabat cukup bisa mencairkan kebekuanku. Kemudian aku menceritakan apa yang terjadi kepadaku. Masalah-masalah yang selalu timbul antara aku dengan ibuku. Tentang ibuku yang selalu melarang aku untuk berbuat ini-itu. Tentang aturan-aturan yang dibuat oleh ibuku untuk aku.
“Violet, Lo pernah gak berfikir bahwa sebenarnya masalah –masalah Lo itu terjadi karena Lo sendiri? Gue yakin, nyokap Lo berbuat seperti itu karena benar-benar sayang sama Lo. Pasti nyokap Lo ingin Lo menjadi anak baik, yang menuruti perintah orang tua, yang bisa menjaga nama baik keluarga. Paling tidak, ibumu pasti ingin menjadikan dan mempersiapkan Lo sebagai calon istri yang baik untuk suami Lo kelak. Bayangkan, kalau Lo suka keluar malam, tetangga akan berpendapat apa tentang Lo? Pasti mereka akan beranggapan Lo gadis urakan, liar, suka keluyuran, dan mereka akan menganggap keluarga Lo tidak becus mengurus anak.” Aku termenung mendengar kata-kata Bintang. Aku merasakan kebenaran kalimatnya. Selama ini, aku selalu melawan ibuku, selalu membantah perintahnya. Tidak jarang juga aku berbohong kepadanya, seperti malam ini. Tiba-tiba aku merasa bersalah kepada ayah ibuku.
“Bintang, apa yang sebaiknya Gue lakukan?” tanyaku lirih.
“Hmm... menurut Gue, turutilah nyokap Lo. Karena Gue yakin, nyokap Lo melakukan semuanya karena dia sayang sama Lo.” Jawab Bintang sambil tersenyum manis. Semanis kalimat yang membuatku ingin segera pulang dan meminta maaf kepada ayah ibuku.
“Bintang, makasih banyak ya, Lo sudah membuka mata hatiku. Gue sadar bahwa selama ini aku keliru. Gue mau pulang sekarang.” Kataku sembari memberesi tasku.
“Gue antar ya, daripada naik taksi. Sepertinya Dewi masih asyik di sini. Nanti Gue bisa balik lagi ke sini” Bintang kembali membuatku termenung. Kali ini termenung memikirkan dirinya. Ganteng, baik, ramah. Benar-benar cowok yang sempurna.
Aku mengangguk mengiyakan tawarannya.
“Nih minum dulu, Lo gak mau nyokap Lo tau Lo habis minum kan?” Bintang menyodorkan sebotol air putih sambil mengacak rambutku. Aku hanya tersenyum, seraya mengambil botol air dari tangannya, berterima kasih. Aku teguk secukupnya, agar bau minuman keras hilang dari mulutku. Kemudian aku bergegas menghampiri Dewi sekaligus pamitan kepada teman-temanku yang lain.
Aku dan Bintang berjalan menuju area parkir di basement. Dan segera meninggalkan GT dengan semangat baru. Semangat perubahan. Perubahan untuk menjadi lebih baik.
“Rumah Lo daerah mana Vi.?” Tanya bintang begitu keluar dari area parkir. Aku menguap, tidak mendengar pertanyaan Bintang. “Violet, Lo sudah ngantuk? Ditanya kok malah bengong?”
Aku kaget. “Sorry Bin, Gue ngantuk, jadi gak konsen. Rumah Gue di Perum Permata D34. “ jawabku sambil terus menguap. Aku merasa mataku sangat berat.
“Bintang, kok Gue ngantuk banget ya?” kataku kemudian
“Ya udah, Lo tidur aja, tar kalau sudah sampai, Gue bangunin.” Suara Bintang terdengar samar. Selanjutnya aku sudah tidak bisa mendengar apa-apa lagi.
........................................................................................................................
Aku merasa kedinginan dan langsung terbangun. Aku biasakan mataku dengan ruangan sekitar. Semua serba putih, seperti rumah sakit. Kulihat sebuah TV flat 29 inch di depan kasurku. Di sisi kanannya, aku lihat almari mewah, sedang di sebelah kiri, aku lihat meja rias dengan cermin yang sangat besar. Bukan, ini bukan rumah sakit, karena rumah sakit tidak seperti ini. Rumah sakit tidak mempunyai kasur selebar dan seempuk kasur ini. Juga tidak mempunyai interior yang mewah seperti ini. Dan ini juga bukan kamarku. Ini seperti sebuah kamar HOTEL. Aku mengingat-ingat kejadian terakhir yang aku ingat. Tadi, aku minum-minum di GT dengan Dewi dan teman-temanku lainnya. Kemudian diantar pulang Bintang setelah minum sebotol air putih pemberian Bintang. aku tertidur saat aku diantar pulang oleh Bintang. Yah, aku ingat. Tapi di mana Bintang?
“Sudah bangun, Sayang?” Sebuah suara menjawab pertanyaanku, seolah mengetahui kebingunganku.
Aku menoleh dan melihat ke arah Bintang yang keluar dari kamar mandi hanya dengan berbalut handuk. “Bintang, apa yang terjadi.?” Aku bangun dari kasur. Dan betapa kagetnya aku mendapati tubuhku telanjang tanpa busana dan kulihat pakaianku berserakan di lantai. “Bintang.!!!! Apa yang Lo lakukan pada Gue??” aku mulai terisak.
“Violet sayang, apa Lo tidak ingat, kita baru saja mereguk madu cinta?” jawab Bintang santai, sambil mengenakan pakaiannya.
“Bajingan Lo Bintang!! Gue kira Lo baik, tapi ternyat Lo lebih busuk dari Anjing yang pernahGue kenal. Lo menjebak Gue kan? Lo masukin obat dalam air puih itu. Ya kan!??” Tangisku semakin keras.
“Hey, Lo sadar gak? Ini kan yang Lo mau dari kehidupan Lo selama ini? Ingat Vio, kita melakukannya atas dasar mau sama mau. Jadi jangan menyalahkan Gue.” kata Bintang sambil mengambil dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang limapuluhribuan. “Gueduluan, pakai duit ini buat ongkos taksi” Kata Bintang lagi sambil melangkah keluar kamar. Meninggalkan aku yang semakin terbenam dalam isak tangis.
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Hanya terisak. Meratapi nasib dan menyesali semua yang terjadi. Aku teringat ayah ibuku, dan aku semakin terisak.
Maafkan Aku Ayah, Ibu....